Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

1FG

Yang fana bukan waktu, Tapi kita. Dengan embunnya hilang setelah pagi, Dan udara di jam enam pagi. Akhir tahun menjadi kayu yang lapuk, Menjalar sampai dada, Ditumbuhi dengan benalu-benalu, Rindu sebagai inangnya, Bagaimana cara mencabut rindu itu, Sementara ditutupi rimbun-ribn waktu, Akaan terus tumbuh sampai dasar matamu, Dan mungkin mataku, Tak usah dihapus, Sekali-kali biarkan terus, Mungkin diselanya ada celah ruang, Di mana seperti dulu, kia Bertemu saat malaikat menuang segelas air yang memercik semua manusia, Dan menyapu deru ragumu.

November's Cold

November, seperti lagu-lagu yang lalu, “Di dalam kedinginan hujan November,” Udara lebih sejuk saat terbit, Air turun sejak kemarau yang panjang, Menyapu debu di sela buku-buku, Setidaknya, saat ini masih ada hati yang kering, hanya basah di luar Di atas sedang ada yang berencana. Seperti malaikat menabur air mata di awan kumulonimbus, “Ini sudah saatnya, rindu mengguyur manusia-manusia bumi,” Kali ini, di mana senyummu ? Dara, bibir coret merah yang terasa sangat manis, Sephia sejenak menjadi berwarna, Yang membasahi tiap dingin menyerang. 5 November 2019

Sarapan Pagi

Suatu pagi yang indah dengan wajahmu yang berbagi bantal denganku, Menyeduh air hitam yang dicampur senyumanmu dan menyisakan ampas, Kafein memacu jantung, ah...... Sarapan kali ini adalah semangkuk cumbu dan segelas lidahmu...... 18 Oktober 2019
Lampu merah merenung di perempatan kota, Dengan bau-bau dan rintik getah air malam mendung,  Klakson-klakson berdering, Lampu hijau berpapasan di pertigaan kota, Membasuh beludru di tangan, Hadiah seseorang di akhir temu bertahun lalu, Lampu kuning, pada pukul 9,  arloji senyap untuk sekejap kaca yang berembun, Suara erangan gerimis makin bising di perempatan dan pertigaan kota, "Ahh..... dara manis yang sangat mirip denganmu," Fragmen cahaya putih, refleksi rintik sunyi malam itu. Aku melaju, melupakan puan cantik berkerudung biru yang kulihat berdiri di rumah kaca lusuh. 29 Sept 2019

Basah di Ujung Tahun

Akhirnya, hujan jatuh di akhir tahun 2019, Seharusnya memang seperti ini. Kau tahu, saat dulu pulang sesampainya di rumah bajuku basah, Jaket hijau kau angkat setinggi kepala. Setapak aspal noir,  dan langit sebuah kota tak berwarna. Tajamnya air, setelah mengantamu pulang, Hujan akhir tahun, memang seperti itu, Kehangatan dalam dingin yang tidak akan pernah dilupakan. 8 Oktober 2019
Insta terindah adalah foto boomerang- mu  dengan wajah yang tak ada setetespun kesedihan. 30 September 2019
Teh tawar saat fajar, Kopi hitam pahit saat senja, Jangan lupa, senyumanmu menjelang lelap sebagai pengantar tidurku.   29 September 2019
September masih menunggu untuk air Tuhan yang runtuh, Kepulan asap yang membumbung di ujung barat, Mendung sedih langit tak juga menitih, Menangislah bumi, untuk semua deritamu dan kurelakan bahu untukmu sesaat, seperti dirinya jika datang kubiarkan air matanya jatuh agar hatinya tenang. Cukup datang, bicara, dan menangislah. 29 September 2019 

Kenangan Umur 20

Pandan wangi dalam panci, Tepat saat bangun tidur, Dengan aroma manis kilau tebu, Ibu yang meracik sedap gula Lalu ditaruh dalam botol merah jambu, Kenangan sekilas di umurku yang 20 26 September 2019

Sekilas Pertemuan

“Ketukan pintu “Lama tak mendengar suara itu,” Katanya padaku, Sambil menyiapkan cangkir putih biru, Dan pinggulnya yang kuusap, Tengkuk dengan sentuhan dan ciuman, Aroma teh hangat yang hanya lihat kita berdua, Pelukanmu,dan lidah kita, menjadi sepenuh-penuhnya rindu.                                               25 September 2019

Kita

Kita telah merindu, Untuk kata-kata yang telah habis ditelan sajak, Ruang, hanya beri kita secarik kertas, Kini di depan kepalaku adalah keningmu, Di hujan yang perlahan, Tengkukmu meminta untuk satu sentuh Di sini jiwa kita beradu, tumpang tindih memuai janji Tanganku dan tanganmu, membelah bibir manismu, Menggapai wangi lembut sela paha, Tatapanmu menengadah, dengan rintih manis lidah meleleh, matamu yang menutup lemas malam ini, Gigitan-gigitan pelan dari mulut tipismu Biarkan ini, sampa jarak kita nanti jauh.......

Dara II

Dia di sana, pergi menjalani takdir, dengan doa, sebuah roti dan, seduhan susu, Bersolek dengan kerudung hitam dan arloji biru, Dia ke sana, Merenung di antara bangunan-bangunan tinggi tua, Bayangan hitam jadi pelindungnya, Melukis keindahan kota dengan kamera sederhana, Dia tiba, Di bibirnya terlihat, guratan gincu merah, celak hitam di matanya yang terjatuh, tatapan bola mata yang tidak berbeda dengan dulu, Dia pulang, Berjalan di antara penerangan jalan gelap, bergandeng bersama dengan murung, Masih, di bualan-bualan puisinya menyimpan lelah, Dia menjelang tidur, lampu lelap dan ranjang jadi teman ceritanya, menabung rindu untuk berjilid-jilid masa, Menumpahkan sisanya dalam kertas yang berbait puisi, Meminum segelas kata-kata, menjelang dia terlelap. 17 September, 2019

Dua

Dua orang meramu kasih, Menjadikan dunia dan isinya hampa, Dan angkasa ruang menjadi canda dalam khayal, Sedih dan keluh jadi beban berdua, Rumpu-rumput seperti ranjang, hilangkan pening pada hangat rangkulan, Perih tertiup tawa-tawa, dua sentuh yang menyatu, Kubus waktu sesaat berhenti, Pada raut lereng petang berlatar awan-awan merah, Sesaat, berubah gelap untuk tempat dua hati menua, 16 Oktober ,2019

Peron Stasiun.....

Sore........... Begitulah cahaya kuning sapa, Di peron dua, pukul enam, Yang di atasnya bertenda bintang-bintang hitam, Tiba untuk melepas lelah......... Orang-orang keluar menyusuri stasiun, Menatap telepon genggam,melayangkan pesan, Pada ayah, ibu, saudara, atau juga pacar, Untuk menanti pelukan hangat di bawah awan merah, Berlatar aspal, dan rindu-rindu putih yang mengudara. 14 September 2019

Dan....

Kita bertatap lagi, puan, Setelah tak terhitung rotasi waktu, Biarkan hati kita memadu, Dan kuletakkan rindu di bibir manismu. 14 September, 2019

Sesaat

Rindu-rindu yang masih menyala, Sekejap redup, di tengah kepulan doa-doa Temu singkat waktu itu, Senyumnya dibalik gelap, terpampang jelas di depan kepala, Ternyata setelah waktu yang lama, dia masihlah secantik dulu

Dara

Keindahan dunia dan seisinya Ialah matamu, Tepat seperti langit dingin sesaat sebelum subuh, Malaikat beterbangan naik menghantar doa-doa malam, Bola mata hitam yang mengadu lelah, Mencerminkan keteguhan ibu Hawa, Menyambut pijaran kuning ujung timur, Memulai langkah, sementara hatinya menahan rindu. Matamu, adalah keindahan Di saat malaikat naik, mengangkat doa-doa subuh 10 September, 2019

Kata Untuknya

Membuka pena dan setumpuk kertas, Pasang earphone, mainkan musik, Begitulah awal pukul 7, Udara dingin masih menggores tinta pada bayangan hitam, Tak jauh-jauh terbang di antara kosa kata, Menulis puisi tentang dirimu. 3 September, 2019

Secangkir wajahmu

Secangkir tumpahan cahaya di pagi, Meniupkan aroma sedap daun kering, Dari panci yang menguap, Udara sejuk mengusap muka yang mengantuk, Ada lukisan wajahmu, Di ponsel yang menunjuk jarinya ke arah pukul tujuh, Galeri seni penuh makna adalah bibirmu,,, Yang senyum dengan sketsa pipi, Coretan-coretan alis dengan kerlingan mata, Di hati kau adakan pameran, Tidak di sembarang tempat, Bukan untuk meminta sekalimat pujian yang mendengung di telingamu, Tapi, pagi memang simfoni Untuk sekedar memandang wajahmu. 2 September, 2019

Kangen-kangen Kasur

Kasur menarik badan, Nikmatnya tidur-tiduran. Tergeletak, santaikan badan, Sambil melihat layar handphone, Lihat-lihat fotonya sebentar. Sekejap pejamkan mata, Menghela nafas, gosok-gosok badan, Peluk-peluk guling, Terus kangen. 2 September, 2019

Agustus

Tak ada Agustus hari ini, Untuk hari-hari yang telah lalu, Begitu juga besok. Adakah pesan kita bulan ini ? Untuk sedikit kabar yang sampai, Dan seduhan percakapan hangat saat-saat hujan, Atau, 15 detik itu Belum cukup, untuk memperlihatkan senyumanmu. Agustus, 2019

Stasiun Waktu

Dan yang lalu adalah masa, Kota tempat kita meneduh saat langit menggelap, Dan tatapan kitayang menghangat. Komuter berbaris, mengucap jumpa, Ahh.... aku terbiasa dengan seduhan senyumanmu saat gerimis yang sedang dingin-dinginnya. Di jam tiga sore,

Kereta 3

Hujan melipir , Di balik sekat kaca membintik, Kekasih tidak menunggu, Cuma saya dan seduh teh hangat untuk pergi. Hujan membintik pada kaca, Cuma saya sendiri tanpa lambaian, meninggalkan Tempat saya muda.

Insta Cerita

Barisan cerita insta, Di antaranya, bukan ceritamu, ya sudah saya tunggu, keseruput air hangat di sela koridor, dan itu kulihat ceritamu, 15 detik memanglah tak cukup, tapi Terima kasih Insta,telah menyampai selingkar rindu

Kisah Insta

Jejeran Insta Story tidaklah menarik, Jika di situ bukan ceritamu, Berusap-usap tetap tidak menarik, Ya sudah saya keluar saja dari rindu elektronik. Terima kasih Insta, bisa menyampaikan selingkar rindu

Kereta Api II

Hentakan sepatu orang-orang, mencetak air keruh di stasiun kota, pijar bohlam yang berjejeran, menyala,tak seperti semestinya. angin menyapa dari ujung peron, mendinginkan susu yang kubawa, seperti dulu, duduk berdua menunggu hujan yang riuh menjelang pulang, kini bukanlah yang dulu, kini hanya duduk semdiri, menenggak dan menanti waktu, langit yang terjaga gelap 11 Agustus, 2019

Terbangun Sendiri

Di celah dunia..... Hanya jalan yang terdiam, Di luar jendela yang sama tidak ada bising. Terbangun sendiri di bawah katamu. Apa yang kau katakan dulu ? Masih akan ada tangan yang menuntunku. Tapi malam, kedipan selalu terjaga tanpamu, Gelap yang terasa, makin meremukkan dada, Dunia......... Yang arah langkah makin gelap tanpamu. Inspired by Noah, Terbangun Sendiri

Kereta Api

Di pinggir garis, Mereka berlalu lalang pada kota. Abu-abu, menjadi latar langit. Saat itu, lamunan menunggu di peron. entah satu, atau dua, tak ada beda. Bukan kau yang keluar dari lambung komuter. Cuma kawat yang menuju hulu. Terlihat lampu ke ujung satu titik hilang. Sudahlah, dalam kerumunan itu tetap saja bukan kau.

Sedikit puisi karya Octavio Paz

Sedikit pengenalan sama om Octavio yang saya kutip dari Wikiped,   (lahir  31 Maret   1914  – meninggal  19 April   1998  pada umur 84 tahun) adalah seorang penulis, penyair dan diplomat dari  Meksiko . Ia mendapatkan  Penghargaan Internasional Neustadt Kesusastraan  pada tahun 1982 dan  Penghargaan Nobel Kesusastraan  pada tahun 1990. Yah itu sekilas tentang Octavio Paz, mau cek lengkapnya googling aja. Saya tau om Octavio karena gak sengaja nemu buku puisi terjemahannya di gramed, dan menurut saya puisinya oke. Inilah beberapa puisinya yang ane foto ( gak dibeli bukunya). Untuk judul bukunya yaitu Batu Matahari. “Dunia berubah Kala dua sejoli, pening dan berangkulan, jatuh di rerumputan:langit turun, pepohonan bangkit, ruang tak jadi apa pun selain cahaya dan kesunyian, angkasa terbuka bagi elang mata, suku putih awan-awan lewat, dan tubuh angkat sauh, jiwa memulai pelayaran, dan kita kehilangan nama...

Tulisan Tentang Kehidupan

Kalau ditanya untuk apa menulis blog, saya tidak tahu apa tujuan pastinya. Kalau blogger-blogger hits punya bahan untuk ditulis dalam blog, saya tidak punya bahan yang bisa digodok. Blog ini berarti ada cuma karena kegabutan saya, dan sedikit puisi-puisi yang saya coret. Buat apa puisi itu ? Yah tidak jauh dari curhat tidak jelas. Siapa tahu tulisan-tulisan itu bisa menarik banyak orang ,menjadi karya fenomenal dan mendapat penghargaan nobel ( ngaco ). \ Di balik tulisan-tulisan ini juga mungkin saya bisa menemukan apa yang saya inginkan dan kerjakan di sisa umur. Di umur seperti ini belum begitu mengenal diri sendiri itu pahit. Maklum, saya bukan dari keluarga yang berpendidikan tinggi dan bermandikan rupiah. Padahal sudah saatnya di umur seperti ini mulai menjelajahi dan mencari peran di dunia yang b*ngs*t ini. Umur yang mulai masuk di masa “remaja kentang ini” serasa buat saya ingin banting kepala. Bingung arah, tidak ada pegangan hidup, yakin nggak yakin dengan diri sendiri, ...

Garis

Garis yang melintang sampai ke titik. Memacu manusia-manusia memaksa mengikut alur. Di angka dua puluh yang mengkusut, Hadirnya risau dalam jentik jari. Apa yang tergores di titik temu bisa digantikan yang baru ? Malaikat hanya menaruh jari pada sisi kusut. Keraguan-keraguan yang menghalang sebagian warna yang makin redup Nafas berhembus, perlahan dan diam, makin ingin berhenti. Apa hidup memang layak dijalani ? Cinta yang tak jelas di jalinan mana merahnya. Cita yang hanya cuma bisa diharap. Entah, biru mana dia akan berada. Sekali ini tiap petang diamnya manyapa. Sambil menghinakan kicau burung-burung manyar di ujung tiang. Menenggelamkan cahaya di ujung pinta Dalam Garis, benang yang mau kapan akan diputus. Nafas yang semakin mendekat titik henti

Kenikmatan Denger Musik sambil Naik Motor

Siapa yang gak suka musik ? Yah ada, tapi kebanyakan manusia yang saya temui tentu suka musik. Musik sudah menjadi bagian hidup dari manusia. Include, karena kemajuan teknologi di zaman now mendengar musik bukan lagi perkara ribet, denger musik pake headset/earphone/handsfree apa pun itu namanya sambil naik motor adalah nikmat yang sulit untuk didustakan. Pagi-pagi mau skuy kerja, kuliah, jalan-jalan, dll nyentelin headset ke kuping, setel lagu, behhhh, hari benar-benar sangat sans. Walau pun di kalangan ortu yang pikirannya masih rada kolot sering bilang denger lagu sambil nai motor bahaya, termasuk bapak-ibu ane, bodo amat !!! Toh ane hak pernah sekali pun (sombong amat) kecelakaan gara-gara denger lau pake headset, maklum rider pro (belum pernah kena azab). But seriously, ane nganggep denger lagu sambil naik motor aman-aman aja, selagi yang denger masih pake otak naek motornya dan pak pol aja gak pernah begal kalo ngeliat. Kalo volume-nya ampe di-full-in ya ngaco juga, kuping bi...

Jalan Dua Cabang

Jika di jalanan yang membelah, Ada pilihan buat ditimbang Sebatas yang nampak terlihat, Bagaimana caranya memilih ? Tak adanya panduan Hanya sisa ambisi muda kisah kecil Tak ada lagi tangan yang menghangat, Apa bisa matang menentukan ? Di kehidupan yang hanya kilauan, Tak terlihat dibalik bayangan. Satu lain lentera tak juga menyala. Apa itu menuju jurang kehancuran ? Di jalanan yang membelah, Apa jarimu masih mau membantu, Bibirmu masih mengecup Senyummu obati ragu, Dan kamu masih berdiri teguh disamping ? Jika di jalanan yang membelah, Dera menunggu di hilir. Apa cukup serahkan tangan lalu malaikat meneruskan ? Jika di jalanan yang membelah, ada apa di ujungnya ? Apa itu menuju jurang kehancuran ? Atau malah memang yang sudah takdir ?