Dara II
Dia di sana,
pergi menjalani takdir,
dengan doa, sebuah roti dan, seduhan susu,
Bersolek dengan kerudung hitam dan arloji biru,
Dia ke sana,
Merenung di antara bangunan-bangunan tinggi tua,
Bayangan hitam jadi pelindungnya,
Melukis keindahan kota dengan kamera sederhana,
Dia tiba,
Di bibirnya terlihat, guratan gincu merah,
celak hitam di matanya yang terjatuh,
tatapan bola mata yang tidak berbeda dengan dulu,
Dia pulang,
Berjalan di antara penerangan jalan gelap,
bergandeng bersama dengan murung,
Masih, di bualan-bualan puisinya menyimpan lelah,
Dia menjelang tidur,
lampu lelap dan ranjang jadi teman ceritanya,
menabung rindu untuk berjilid-jilid masa,
Menumpahkan sisanya dalam kertas yang berbait puisi,
Meminum segelas kata-kata, menjelang dia terlelap.
pergi menjalani takdir,
dengan doa, sebuah roti dan, seduhan susu,
Bersolek dengan kerudung hitam dan arloji biru,
Dia ke sana,
Merenung di antara bangunan-bangunan tinggi tua,
Bayangan hitam jadi pelindungnya,
Melukis keindahan kota dengan kamera sederhana,
Dia tiba,
Di bibirnya terlihat, guratan gincu merah,
celak hitam di matanya yang terjatuh,
tatapan bola mata yang tidak berbeda dengan dulu,
Dia pulang,
Berjalan di antara penerangan jalan gelap,
bergandeng bersama dengan murung,
Masih, di bualan-bualan puisinya menyimpan lelah,
Dia menjelang tidur,
lampu lelap dan ranjang jadi teman ceritanya,
menabung rindu untuk berjilid-jilid masa,
Menumpahkan sisanya dalam kertas yang berbait puisi,
Meminum segelas kata-kata, menjelang dia terlelap.
17 September, 2019
Komentar
Posting Komentar