Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Klise

Rindu entah bertanya, kepada siapa dan alasannya. Yang bukanlah sosok siapa, dan tangannya saja, tak tahu juga pada siapa. Puan memang di sana. Dan mata tak lupa. Tentang panjatan pinta. Dengan rindu takkan reda. Samakah rindunya ? Yang kenapa bingung seketika. Barang kali kamu, yang sana, bisa juga dia. Dalam yang lama bersela, Semoga jawabnya ada. Melalui jalur suara, Terangkat ke surga, hingga beranjak segera.

Telah Turun

Manusia sudah ada di alur-alur. Dan kertas putih sudah ditetapkan langit. Dirasuk oleh malaikat untuk tiap-tiap tabiat. Tulang-tulang kering juga tergores tinta sabda. Setelah dihujamkan ke bumi, Nafas-nafas lahir selepas bisikan ruh. Menjadi pribadi pengelana tanah-tanah keruh. Lalu disekap dengan birahi ambisi. Berubah, tak lagi ingin dibilang insan suci. Menjagal saudara setali. Sampai ujung, darah-darah mengucur, sementara yang lainnya tertawa

Sajak Stensilan

Hai puan....... Puan yang akan mendampingiku Selalulah jaga diri. Maaf saat kau masih menanti, Kau rasakan sepi. Tapi tolong, jangan ulangi kesalahan nenek Hawa. Bermain dengan buah khuldi. Dan hati-hati sayang, pada bajing di balik semaknya. Bedebah itu tahu kau tak tahan sepi. Dia hanya mau pakaianmu dilucuti. Pura-pura hilangkan semata resah, Di ranjang kau dibuat basah. Suapi bait puisi, kau malah nagih di-doggy. Aku yang malamnya dingin, Kamu malah gerayangan anget-anget Ah..... Anjing banget. Aku mohon, sekali lagi, jagalah dii.

Tak Ada

Langkah merapuh, Di tepian jalan landai. Dan di ujung yang meliuk. Liukan yang diperaga pedansa terakota. Ditingkap tiup hening yang dikira hilang. Tembok itu, hanya membungkam jalanan. Tak menghirau yang dirantai kegersangan sepi Akhir tahun yang kala bumi dihujam hujan. Yang basah tak sampai, di sela retakan, Gerbang kota yang juga tak urung menyampai kata. Tak peduli dengan kekosongan yang hingga ke ulu. Hanya ada sebuah bangunan tua tak bertuan suara saat raga akhirnya jatuh. Lalu dilihatkan jalanan. Sama, Rinding hampanya, masih sampai sana.

Tikungan...

Di pojok-pojok Jakarta, Lampu kedip masih nyala. Bukan sampai tengah malam. Tapi menunggu hingga terbit pijar. Tak ada keramaian di Ibu kota Di kala seorang pemuda, meniti di bahu arteri jalan. Sambil marka putih padanya menyapa. Tak ada topan di Ibu kota. Tapi, kenapa hatinya terdera Barang kali biasa di atas pacuannya ulu dada terasa di cengkeram. Pedih, yang dipuja tak juga terbalas kata. Juga malam tambah samar di gang-gang. Gang yang bertahun-tahun lalu menyimpan cerita lama. Dan sendiri itu tetap menjadi kolega setia di petualangan berbelukar. Yah....... pelik pemuda praja Jakarta.

Babu....

Kasihan sekali rindu. Tak hanya sekali atau dua kali. Muncul dalam tiap bait hati yang menjerit. Menjadi kambing hitam manusia-manusia bebal. Memanglah, hati lebih suka jadi babu rindu, Timbang adakan temu. Bersama hembusan angin di antara bara lingkaran lilin. Bercakap, saling menatap. Menghanyutkan yang dibilang bedebah rindu itu dengan penggalan-penggalan cerita, Selama waktu tak jumpa. Memang tak selamanya begitu. Tapi, bincang hangatnya yang akan selalu tenggelam. Dalam hari lawas, jauh dan gelap yang pasti tetap terkenang. Begitulah, tak hanya singgah lalu pergi, walau kepala kita sampai beruban.

Puisi Lensa

Hari ini aku hanya ingin memotret. Berdiri, membidik, lalu taruh dalam bingkai. Menebus penyesalanku di waktu yang lalu. Kurang menyimpan momen. Jika suatu saat Dia beri kita temu, Maaf, tak ada bahan untuk mengenang yang dulu. Bahkan senyummu pun tak ada dalam galeriku.

Malam ?

Apa, malam minggu? Ah...... sama saja rasanya. Tak ubahnya dengan malam lalu. Toh, tak ada sesosok yang dirindu. Apa mungkin ada, tapi tak berani mengaku ? Sudahlah... lupakan.

Hari......

Hari melewati hari tak sekalipun menengok Ataupun sedikit menoleh pada malam Memberiku embun di jam enam pagi, sama seperti embun di depan rumahmu Yang meninggalkan pertanyaan untuk masing-masing kita, dan belum juga satu kata terjawab

Dia

Bicara masa SMA, Masih tentang cinta. Dengan memoar yang kuletakkan di atas meja. Juga segala lembar bukti menyisa. Seketika kerudung putihmu kulihat sama. Dan jamuanmu yang kuingat di hari Selasa. Seperti biasa, retorika penuh rasa. Diakhiri dengan hipokrit hari Kamis, Yang pura-pura tak ada. Sementara, Ada yang masih bertanya. Tentang tatapan lima detik kita yang kau sengaja di lantai dua. Untukmu, aku tak tahu, Tapi untukku, aku masih ingin tahu apa maknanya.

Tentang Dia

Kau, orang yang akan mendampingiku Bagaimana malammu ? Bahagiakah ? Bahagialah dengan malammu Sementara aku hanya merasa sepi, terdiam dengan gelap malam Sambil menerka Siapa dirimu ? Di mana kita bertemu ? Setelah bertukar cangkir dengan kerabatmu, bawalah juga untukku Usir sepi-sepi Dan mari bermalam bersama

Sore

Dingin sore itu, kau denganku Tak usah lagi penghangat, cukup kau saja Kita masih muda, belum terikat oleh dunia Membalut hati dengan kisah remaja, dulu yang hanya kasih sayang namun belum terungkap, entah apa yang buatku malu Meski sama-sama tau, kita saling melempar hati Kisah kita, di penghujung sore Kala Hujan 2016