Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Telah Turun

Manusia sudah ada di alur-alur. Dan kertas putih sudah ditetapkan langit. Dirasuk oleh malaikat untuk tiap-tiap tabiat. Tulang-tulang kering juga tergores tinta sabda. Setelah dihujamkan ke bumi, Nafas-nafas lahir selepas bisikan ruh. Menjadi pribadi pengelana tanah-tanah keruh. Lalu disekap dengan birahi ambisi. Berubah, tak lagi ingin dibilang insan suci. Menjagal saudara setali. Sampai ujung, darah-darah mengucur, sementara yang lainnya tertawa

Sajak Stensilan

Hai puan....... Puan yang akan mendampingiku Selalulah jaga diri. Maaf saat kau masih menanti, Kau rasakan sepi. Tapi tolong, jangan ulangi kesalahan nenek Hawa. Bermain dengan buah khuldi. Dan hati-hati sayang, pada bajing di balik semaknya. Bedebah itu tahu kau tak tahan sepi. Dia hanya mau pakaianmu dilucuti. Pura-pura hilangkan semata resah, Di ranjang kau dibuat basah. Suapi bait puisi, kau malah nagih di-doggy. Aku yang malamnya dingin, Kamu malah gerayangan anget-anget Ah..... Anjing banget. Aku mohon, sekali lagi, jagalah dii.

Tak Ada

Langkah merapuh, Di tepian jalan landai. Dan di ujung yang meliuk. Liukan yang diperaga pedansa terakota. Ditingkap tiup hening yang dikira hilang. Tembok itu, hanya membungkam jalanan. Tak menghirau yang dirantai kegersangan sepi Akhir tahun yang kala bumi dihujam hujan. Yang basah tak sampai, di sela retakan, Gerbang kota yang juga tak urung menyampai kata. Tak peduli dengan kekosongan yang hingga ke ulu. Hanya ada sebuah bangunan tua tak bertuan suara saat raga akhirnya jatuh. Lalu dilihatkan jalanan. Sama, Rinding hampanya, masih sampai sana.

Tikungan...

Di pojok-pojok Jakarta, Lampu kedip masih nyala. Bukan sampai tengah malam. Tapi menunggu hingga terbit pijar. Tak ada keramaian di Ibu kota Di kala seorang pemuda, meniti di bahu arteri jalan. Sambil marka putih padanya menyapa. Tak ada topan di Ibu kota. Tapi, kenapa hatinya terdera Barang kali biasa di atas pacuannya ulu dada terasa di cengkeram. Pedih, yang dipuja tak juga terbalas kata. Juga malam tambah samar di gang-gang. Gang yang bertahun-tahun lalu menyimpan cerita lama. Dan sendiri itu tetap menjadi kolega setia di petualangan berbelukar. Yah....... pelik pemuda praja Jakarta.

Babu....

Kasihan sekali rindu. Tak hanya sekali atau dua kali. Muncul dalam tiap bait hati yang menjerit. Menjadi kambing hitam manusia-manusia bebal. Memanglah, hati lebih suka jadi babu rindu, Timbang adakan temu. Bersama hembusan angin di antara bara lingkaran lilin. Bercakap, saling menatap. Menghanyutkan yang dibilang bedebah rindu itu dengan penggalan-penggalan cerita, Selama waktu tak jumpa. Memang tak selamanya begitu. Tapi, bincang hangatnya yang akan selalu tenggelam. Dalam hari lawas, jauh dan gelap yang pasti tetap terkenang. Begitulah, tak hanya singgah lalu pergi, walau kepala kita sampai beruban.

Puisi Lensa

Hari ini aku hanya ingin memotret. Berdiri, membidik, lalu taruh dalam bingkai. Menebus penyesalanku di waktu yang lalu. Kurang menyimpan momen. Jika suatu saat Dia beri kita temu, Maaf, tak ada bahan untuk mengenang yang dulu. Bahkan senyummu pun tak ada dalam galeriku.

Malam ?

Apa, malam minggu? Ah...... sama saja rasanya. Tak ubahnya dengan malam lalu. Toh, tak ada sesosok yang dirindu. Apa mungkin ada, tapi tak berani mengaku ? Sudahlah... lupakan.